Breaking News

Blogger Cursor by Tutorial Blogspot

Minggu, 25 Mei 2014

Nyanyian Prita -Cerpen Fantasi

Hai hai para bloggers! Hari ini saya bawa sebuah cerita yang sebelumnya sudah pernah saya posting di goodreads. Sebenarnya emang dari dulu suka bikin cerita, tapi selalu kurang pede buat posting di medsos. Yah, semacam itulah. Hmm, cerita yang satu ini genrenya fantasi karena saya memang suka baca cerita fantasi. Hope you like it. Happy reading ya guys + mohon kritik dan sarannya.

Nyanyian Prita

“Hei, sampai kapan kau mau duduk terus di situ?” tanyaku untuk yang ke sekian kalinya tapi Prita tetap tak bergeming. Matanya menatap lurus ke dalam air danau seakan sesuatu di dalam sana begitu menarik untuk dilihat. Sesekali ia meraih kerikil kecildi sekitar tempatnya duduk kemudian melemparnya ke dalam air, memecah bayang wajahnya sendiri ke dalam lingkaran-lingkaran gelombang kecil.

Aku menghela napas lelah, kusandarkan tubuhku pada batang pohon mahoni, hanya beberapa meter di belakang gadis itu. Sejenak kupejamkan mataku, mencoba untuk sedikit merelakskan pikiran. Begitu kubuka kembali kedua kelopak mataku, sekilas ku lihat ia sedikit meirikku namun itu hanya sepersekian detik sebelum pandangannya kembali terpaku pada air danau yang tenang.

Ku amati sosoknya ekat-lekat, berharap bisa mengerti apa yang sedang di pikirkannya. Gadis itu bertubuh mungil, berbalut gaun merah muda selutut yang warnanya mulai kusam. Betapa tidak? Ia memakai gaun itu setiap hari. Aku curiga ia hanya punya satu pakaian sehingga ia tak pernah menggantinya. Namun tak ada yang pernah berani bertanya padanya, tatapan tajam dan sikap bisunya benar-benar menjadi sebuah penegasan bahwa tak ada yang perlu dipertanyakan. Gadis aneh, namun entah mengapa aku justru lebih kepada merasa kasihan daripada kesal akan sikapnya. Siapa yang tahu, mungkin saja ia telah melalui kehidupan yang begitu berat.

Matahari mulai tergelincir dan perlahan menyembunyikan sosoknya di ujung barat. Ku tatap punggung gadis itu sekali lagi. Rambut sebahunya yang tipis dan tergerai bergoyang pelan ditiup angin, menampakkan batang leher jenjang yang tampak sedikit dekil. Astaga, gadis ini benar-benar cuek bahkan pada dirinya sendiri.

“Jadi, ku harap aku bisa mendapatkan jawabanmu besok. Kau hanya perlu memilih, bernyanyi atau bermain musik. Jika kau ingin bermain musik namun tak mahir, kau tak perlu khawatir. Aku akan mengajarimu, sungguh. Dan..” perkataanku terhenti sejenak, gadis itu tak tampak terpengaruh sedikitpun seolah kata-kataku barusan hanyalah suara angin yang mendesau.

“Semakin cepat kita mulai akan semakin baik.” Aku menatap rerumputan di bawahku seraya meremas jari-jariku. Tentu saja aku menyadari bahwa yang tadi ku ucapkan adalah sebuah perkataan bodoh. Gadis itu, yang entah bagaimana caranya telah berhasil membuat dunia serasa milik sendiri tentu tak akan mendengarkan.

Aku bersiap berbalik namun sebuah suara lembut yang tiba-tiba memenuhi udara di sekitarku membuatku terkesiap. Rasanya tubuhku seperti terpacak ke dalam tanah hingga tak mampu bergerak. Hanya mataku yang cekatan segera menangkap sosok Prita, ia masih di tempat yang sama, sama sekali tak beranjak.

“Kenapa kau peduli padaku?” suara itu lembut namun penuh tekanan. Tiba-tiba bulu kudukku serasa merinding. Mendengar suaranya untuk pertama kali setelah selama ini terbiasa dengan kebisuannya membuatku merasa sedikit horor. Apalagi angin malam yang berhembus menerbangkan dedaunan kering di sekitarku menciptakan suasana mencekam yang tiba-tiba. Ku buang jauh-jauh pikiranku itu dan memberanikan diri menjawab.

“Tentu saja karena aku adalah ketua kelasmu. Dan tugasku adalah memastikan bahwa semua siswa di kelas berpartisipasi dalam pesta tahunan sekolah.” Ku rasa aku berhasil membuat suaraku terdengar lantang.

“Jadi begitu.” Gumam gadis itu kemudian melempar sebuah kerikil lagi ke danau. Seketika suasana mencekam tadi tak lagi terasa. Angin kembali bertiup seperti biasa. Aku menarik napas lega kemudian setelah memastikan bahwa gadis itu tak ingin melanjutkan percakapan, segera melangkah menjauhi danau. Baru selangkah, aku tersenyum mengingat sesuatu. Tanpa berbalik menatapnya, ku ungkapkan apa yang baru saja ku pikirkan.

“Suaramu bagus. Kenapa tak ikut menyanyi saja?”

-----------

Bel pulang sekolah berbunyi, akhirnya. Cepat-cepat ku bereskan peralatan tulisku. Mataku tak lepas mengamati Prita yang juga tengah berberes dengan santai. Ya, setelah akhirnya ia mau berbicara kepadaku, aku begitu yakin ia akan memberikan jawabannya hari ini.

Baiklah selesai. Kusampirkan tasku ke punggung kemudian dengan cepat berlari menuju pintu. Sejenak pandangan kami bertemu. Prita menatapku tajam namun tetap melangkah pelan, mendekat ke arahku. Alisnya yang tebal bertaut seolah ingin semakin menegaskan bahwa ia tak senang aku terus mengganggunya.
Dia adalah anak terakhir yang keluar dari kelas, membuatku menyeringai lebar.

“Jadi, apa kau sudah memutuskan?” gadis itu tak menjawab, hanya terus menatapku dengan tajam, mungkin berharap bisa membunuhku dengan tatapan lasernya itu. Sekian menit ia hanya mematung tanpa ada tanda-tanda aka berbicara. Tapi aku tak kehilangan akal, aku sudah bertekad membuat gadis ini menampilkan kemampuannya di pesta sekolah. Apalagi setelah mendengar suaranya yang begitu merdu.

“Kau tak mau menjawab?” tanyaku sekali lagi namun gadis itu hanya menatapku bahkan tak berkedip. Aku mengangkat bahu.

“Apa boleh buat. Kalau begitu kau harus ikut denganku.” Ekspresinya menunjukkan protes keras begitu aku mencengkeram pergelangan tangannya dan menariknya agar mengikutiku. Ia pasti sangat terkejut dengan perlakuanku yang sangat lancang namun aku tak peduli lagi, aku sudah cukup lelah menghadapinya.

Ia terus berusaha melepaskan tangannya dari cengkeramanku namun apa daya aku lelaki yang akan selalu lebih kuat darinya. Mungkin ia akhirnya menyadarinya karena beberapa saat kemudian ia berhenti memberontak dan membiarkan aku menentukan jalannya. Aku menggiringnya ke arah timur, menuju aula besar sekolah, tempat di mana anak-anak dari masing-masing kelas tengah sibuk berlatih baik bernyanyi maupun memainkan alat musik.

Kami berhenti tepat di depan pintu aula yang terbuka lebar. Aku berbalik menatap gadis itu. Ia menunduk, sementara gegap gempita suara alat musik dari dalam aula terdengar semakin membahana. Aku membawanya masuk. Kami melewati sekelompok pemain biola yang sedang bersahut-sahutan memainkan harmoni musik dengan sangat merdu. Aku tersenyum, beberapa kali menyapa teman yang sedang berlatih. Aku tahu benak mereka dipenuhi tanda tanya karena melihatku bersama Prita. Tapi toh mereka tak mengatakan apa-apa.

“Indah, bukan?” tanyaku saat kami berhenti sejenak untuk mendengarkan alunan musik biola. Ia hanya menatapku , kali ini tanpa ekspresi. Ya, mungkin ia tidak tertarik dengan biola, meskipun itu salah satu instrumen kesukaanku.

Kami melanjutkan perjalanan mengelilingi aula yang sangat luas, melewati para pemain saxophone, gitar, drum, piano, dan masih banyak lagi, tapi tampaknya tak ada satupun yang mampu menarik perhatian gadis itu. Aku hampir menyerah ketika akhirnya kami sampai pada kelompok terakhir. Itu kelompok vokal. Ada vokal grup yang terdiri atas sekelompok siswi yang tengah menyanyikan mars sekolah dengan semangat. Tak jauh dari sana, ada beberapa anak yang berlatih secara terpisah masing-masing menyanyikan lagu yang berbeda. Dan ke arah sanalah mata gadis itu terpaku. Aku melihat kilat ketertarikan di matanya namun itu tak berlangsung lama karena ia kembali menatap hampa ketika menyadari bahwa aku tengah mengamatinya.

Ah, jadi begitu? Rupanya gadis itu tertarik untuk bernyanyi solo? Sesuai dugaanku. Aku tersenyum penuh arti membuatnya menatapku dengan tajam –lagi-. Ku bawa ia keluar. Aku sudah menemukan jawabannya.
-------
Hari ini ku biarkan saja ia melenggang pergi begitu jam pelajaran usai. Toh, aku akan kembali dapat menemukannya. Aku tersenyum, bahkan semua anak di kelas akan dapat menemukannya jika disuruh mencarinya setelah jam pulang sekolah. Jadi ku bereskan buku-bukuku dengan santai, memastikan bahwa semua anak telah keluar kemudian meraih tas biolaku yang tadinya ku sembunyikan di dalam lemari kelas. Yah, keuntungan akses yang hanya bisa didapat oleh ketua kelas.

Seperti yang ku duga, gadis itu memang ada di sana. Duduk diam seperti biasa sembari memandangi air danau. Tapi kali ini aku tak akan duduk di belakangnya seperti biasa. Ku hela napas panjang kemudian memberanikan diri mendekatinya, berdiri tepat di sampingnya. Aku menunduk, mengamati air danau gelap yang kini menampilkan pantulan wajah kami. Sesosok pemuda tinggi, tegap, dan manis hm menenteng sebuah tas biola. Dan sesosok gadis mungil begaun merah muda yang... rapuh. Baiklah, aku baru menyadari hal itu begitu menatap bayangannya yang balas menatap hampa ke arahku dari dalam air. Aku mengalihkan fokusku.

“Jadi kau suka menyanyi?” tanyaku seraya tersenyum pada bayangannya. Seperti biasa ia diam meski dari dekat sini aku bisa merasakan bahwa ia ingin sekali mengakuinya.

“Apa kau ingin aku bernyanyi?” aku sedikit terkejut karena ia kembali mau bicara denganku. Dan entah mengapa, aura horor yang sama kembali merayapiku.

“Ya, tentu saja.” Jawabku dengan semangat. “Aku sudah membawa biola untuk mengiringi nyanyianmu. Ah,aku yakin kau pasti jadi yang terbaik di pesta sekolah.”

Ia tertawa kecil tanpa ekspresi dan aku merasa bulu kudukku meremang.

“Kalau aku bernyanyi apa kau akan berhenti menggangguku?” tanyanya tanpa menatapku.

“Ya, ku pikir.....”

“Baiklah, kau tahu aku sebenarnya sangat suka bernyanyi. Tapi aku tak bisa bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi padamu saat aku selesai bernyanyi.” Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkannya. Tapi seperti mengandung kekuatan mistis yang membuatku merasa was-was. Ku tepis semua pikiran aneh itu. Yang terpenting sekarang ia akan bernyanyi. Akhirnya, usahaku selama seminggu belakangan untuk membujuknya kini membuahkan hasil.

Gadis itu berdiri kemudian menatapku. Aku menyiapkan biolaku kemudian mengangkat alis. Seolah mengerti kodeku gadis itu bergumam cepat.

“You are not alone. Michael Jackson.”

Baiklah aku tahu lagu itu. Tanpa menunggu aba-aba, aku segera memainkannya. Udara di dekat danau belakang sekolah ini pun seketika dipenuhi dengan nada-nada indah yang tercipta dari gesekan biolaku. Intronya berhasil ku mainkan, sekarang saatnya Prita bernyanyi. Aku tersenyum.

Another day has gone
I’m stil all alone
How could this be
You’re not here with me

Suaranya sangat merdu, menyatu dengan alunan biolaku membentuk symphoni yang begitu indah. Sejenak aku berpikir, mungkin untuk suara seindah inilah biola diciptakan.

You never said goodbye
Someone tell me why
Did you have to go
And leave my world so cold

Tapi tunggu sebentar. Ah mungkin itu hanya ilusiku saja tapi aku melihat tangan kurus gadis itu tiba-tiba saja dipenuhi bulu kecoklatan yang kasar dan tebal. Aku mengejap-ngejapkan mata namun aku tetap melihat hal yang sama, bahkan lebih parah. Bulu tebal itu mulai tumbuh di lengannya, membuat ia tak lagi tampak seperti gadis mungil. Namun ia terus menyanyi, bait demi bait dengan penuh semangat. Bibirnya melengkung di wajahnya yang tanpa ekspresi. Dalam sekejap, Prita berubah menjadi makhluk yang menakutkan.

Aku terus menggesek biolaku namun langkahku perlahan-lahan mundur. Jantungku berdentam-dentam tak karuan. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Makhluk apakah sebenarnya gadis mungil itu? Kini bulu mulai merambati wajahnya, setelah seluruh tubuh tertutupi. Gaun merah muda yang sehari-hari dipakainya kini sobek tak beraturan akibat tubuhnya yang semakin membesar. Tingginya kini hampir mencapai pohon mahoni. Aku hanya berkedi sesaat namun setelahnya wajah gadis itu benar-benar tak lagi bisa ku kenali. Bulu kecoklatan memnuhi wajahnya yang mengeras berwarna hitam, matanya membesar menampakan dua bola mata yang selalu berputar-putar. Sebuah hidung besar. Serta mulut yang tiba-tiba saja berhenti bernyanyi dan kini terbuka lebar menampakkan susunan gigi lengkap dengan dua pasang taring yang tajam dan panjang seolah mengundangku untuk menjadi santap malamnya.

Refleks aku melempar biolaku sembarangan dan berlari sekuat tenaga, berharap dapat mencapai gedung aula secepat mungkin sebelum monster itu meraihku. Aku tahu itu harapan bodoh. Dengan kaki hampir setinggi tubuhku, mudah saja baginya untuk menangkapku. Namun hingga aku mencapai gedung kelas terdekat, belum ada tanda-tanda ia menyusul. Ku beranikan diriku menoleh ke belakang. Ternyata makhluk itu tak mengejarku. Ia malah berbalik menjauh. Setiap langkahnya menggetarkan tanah di bawahku. Dan getaran itulah yang membuatku merasakan bahwa monster itu masih memiliki jiwa manusia. Jiwa gadis mungil yang ku paksa bernyanyi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By